Skip navigation

Awal Masa Orde Baru

Tanggal 11 Maret 1966 dianggap tonggak dimulainya masa pemerintahan Orde Baru. Apakah yang dimaksud dengan Orde Baru itu? Orde Baru diberi makna sebagai berikut :

  1. tatanan  seluruh  kehidupan rakyat, bangsa, dan negara yang diletakkan kembali kepada  kemurnian pelaksanaan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945
  2. Orde Baru merupakan koreksi total atas segala penyelewengan di segala bidang yang terjadi pada masa lampau (masa Demokrasi Terpimpin atau disebut juga Orde Lama) dan berusaha rmenyusun kembali kekuatan bangsa dan menentukan cara-cara yang tepat untuk menumbuhkan stabilitas nasional jangka panjang, sehingga mempercepat proses pembangunan bangsa berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

Dalam mengimplementasikan makna tersebut, pemerintah Orde Baru berlandas pada dua landasan tetap yang, dalam perspektif pemerintahan Orde Baru, tidak akan berubah-ubah dan landasan yang bersifat situasional. Landasan yang bersifat tetap dan tidak berubah-ubah adalan landasan idiil berupa falsafah dan ideologi Pancasila serta landasan konstitusional berupa Undang-Undang Dasar 1945. Adapun landasan yang bersifat situasional adalah segala sesuatu penyesuaian dengan keadaan yang menyangkut penyelenggaraan sistem berbangsa dan bernegara.

Lahirnya pemerintahan Orde Baru  tersebut dilatarbelakangi oleh peristiwa G30S/PKI. Di bawah ini  dipaparkan mengenai perkembangan kehidupan berbangsa  bernegara pada masa pemerintahan Orde Baru yang diawali dengan penumpasan pemberontakan G30S/PKI..

1.     Penumpasan Pemberontakan G30S/PKI

Berkat peluang politik yang terbuka, Partai Komunis Indonesia (PKI) memiliki kemajuan yang pesat dan posisi yang kuat menjelang akhir masa Demokrasi Terpimpin. Posisi demikian dimanfaatkan oleh PKI untuk mewujudkan keinginannya merebut kekuasaan dan menggantikan ideologi Pancasila dengan ideologi Komunis di Indonesia. PKI menunggu saat yang tepat untuk melaksanakan kehendaknya.

Ketika kesehatan Presiden Soekarno tampak menurun pada bulan Juli dan Agustus 1965, PKI berkali-kali mengadakan rapat rahasia untuk membahas segala kemungkinan bila presiden meninggal dunia. Rapat PKI akhir bulan Agustus 1965 memutuskan PKI akan mengadakan gerakan perebutan kekuasaan. Gerakan itu akan dipimpin langsung oleh tokoh PKI D.N. Aidit yang menjabat sebagai pemimpin tertinggi gerakan. Sementara itu, pimpinan pelaksana gerakan ditunjuk Syam Kamaruzzaman. Pono ditunjuk sebagai wakil pimpinan gerakan, dan Bono ditetapkan sebagai pimpinan bagian observasi.

Rapat rahasia berikutnya dilaksanakan pada tanggal 6 September 1965. Rapat ini melibatkan sejumlah tokoh oknum ABRI yang bersimpati pada gerakan komunis. Dalam rapat itu dibicarakan mengenai situasi politik di Indonesia dan sakitnya Presiden Soekarno. Selanjutnya Syam Kamaruzzaman memaparkan isu adanya Dewan Jenderal kepada peserta rapat. Dewan Jenderal itu, menurut Syam akan melaksanakan kudeta. Selanjutnya ia mengutarakan instruksi Aidit untuk mengadakan gerakan sebelum kudeta Dewan Jenderal. Kesepakan untuk mendahului kudeta lebih awal dibanding Dewan Jenderal disetujui pada tanggal 9 September 1965.

Rapat-rapat rahasia PKI selanjutnya, membahas persiapan kudeta. Berturut-turut tanggal 13,15,17,19,22,24,26, dan 29 September 1965 di rumah Syam Kamaruzzaman. Seluruh hasil rapat itu kemudian diinformasikan kepada Biro Khusus PKI di setiap daerah. Selain itu, Biro Khusus Daerah diberi tugas untuk menyiapkan segala sesuatu yang menyangkut kudeta di daerahnya masing-masing.

Setelah segala persiapan dirasakan matang, sesuai hasil rapat terakhir tanggal 29 September 1965, gerakan PKI akan dimulai pada hari Kamis malam tanggal 30 September 1965 dan dinamai gerakan 30 September yang kemudian dikenal dengan sebutan G-30-S/PKI atau Gestapu/PKI.

Ujung tombak gerakan itu adalah Letnan Kolonel Untung Sutopo. Kolonel Untung adalah Komandan Batalyon I resimen Cakrabirawa yaitu Resimen Pengawal Presiden. Sasaran gerakannya adalah para perwira Angkatan Darat yang selalu menghalang-halangi aktivitas PKI.

Pada malam yang telah ditentukan, pasukan PKI menyebar ke sasaran yang telah ditentukan. Pasukan itu kemudian menculik pucuk-pucuk pimpinan Angkatan Darat. Para pimpinan AD, baik hidup atau mati, dibawa ke daerah Lubang Buaya. Lubang Buaya adalah nama sebuah desa yang terletak di sebelah selatan Pangkalan Udara Utama Halim Perdanakusuma Jakarta. Di tempat inilah, para pemimpin Angkatan Darat itu dibunuh kemudian jenazahnya dimasukkan ke dalam sebuah sumur tua.

Para Perwira/Pemimpin Angkatan Darat yang diculik dan gugur pada peristiwa itu adalah Letnan Jenderal Achmad Yani, Mayor Jenderal Seoprapto, Mayor Jenderal M.T. Haryono, Mayor Jenderal S.Parman, Brigadir Jenderal D.I. Panjaitan, Brigadir Jenderal Soetojo Siswomihardjo, Letnan Satu Pierre Andreas tendean, dan Brigadir polisi Karel Satsuitubun. Musibah itu juga menimpa puteri Jenderal A.H.Nasution, Ade Irma Suryani Nasution. Sementara itu Jenderal A.H.Nasution dapat meloloskan dari usaha penculikan itu.

Tanggal 1 Oktober 1965, “Gerakan 30 September” dapat menguasai Studio RRI pusat di Jalan Merdeka barat dan kantor P.N. Telekomunikasi di jalan Merdeka Selatan. Melalui siaran radio pukul 07.20 dan diulang apda pukul 08.15, PKI mengumumkan bahwa Gerakan 30 September ditujukan pada jenderal-jenderal anggota Dewan Jenderal yang akan mengadaklan kudeta terhadap pemerintah. Pengumumannya kemudian berlanjut pada pukul 13.00 yang menyatakan Dekrit tentang Pembentukan Dewan Revolusi di Pusat dan di Daerah-daerah serta pendemisioneran Kabinet Dwikora.

Pada pagi hari yang sama, Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) Mayor Jenderal Soeharto menerima laporan ihwal Peristiwa G-30-S/PKI. Setelah meyakini G-30-S/PKI adalah gerakan kudeta terhadap pemerintah, Pangkostrad bertindak cepat untuk memulai tindakan penumpasan. Kolonel Sarwo Edhi Wibowo diperintahkan untuk merebut kembali studio RRI Pusat dan P.N. Telekomunikasi. Dalam waktu 20 menit Studio RRI dan Kantor Pusat telekomunikasi dapat direbut.

Beberapa saat kemudian, Mayor Jenderal Soeharto mengumumkan melalui RRI tiga hal. Pertama. Telah terjadi kudeta terhadap pemerintah yang dilakukan oleh sebuah gerakan yang menamkan diri “gerakan 30 September”. Kedua, tentang telah diculiknya 6 perwiran Angkatan Darat. Ketiga, pemberitahuan bahwa Presiden dan Menko Hankam/Kasab dalam keadaan aman dan sehat. Selanjutnya Pangkostrad menghimbau seluruh rakyat untuk tetap tenang dan waspada.

Setelah Studio RRI dan Kantor Telekomunikasi dikuasai, operasi penumpasan diarahkan kepada penguasaan Lapangan Udara Halim Perdanakusuma. Tugas tersebut dilimpahkan kepada kesatuan RPKAD Batalyon 328/Para Kujang dan dua kompi pasukan Kavaleri. Menjelang sore hari tanggal 2 Oktober 1965, Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma dapat dibebaskan dari dari penguasa pasukan G30S/PKI. Seiring dengan dikuasainya Jakarta oleh ABRI maka “gerakan 30 September” dapat digagalkan.

Pemberontak G 30 S/PKI ternyata telah dipersiapkan dengan matang dan tidak hanya terbatas di Jakarta saja. Tetapi gerakan juga dilakukan di berbagai daerah lain terutama sekali di Jawa Tengah. Seperti halnya di Jakarta, “Gerakan 30 September” yang terjadi di daerah-daerah dapat dilumpuhkan oleh kesatuan-kesatuan ABRI yang ada di daerah masing-masing.

Pada tanggal 2 Oktober 1965, Mayor Jenderal Soeharto menemui Presiden Soekarno di Istana Bogor setelah kota Jakarta yakin dikuasai. Dalam pertemuan itu, Presiden Soekarno memerintahkan Mayor Jenderal Soeharto untuk menyelenggarakan pemulihan keamanan dan ketertiban seperti sediakala. Perintah Presiden Soekarno itu kemudian tertuang dalam Keputussan Presiden/Pangti ABRI/KOTI Nomor 142/KOTI/1965 dan Nomor 179/KOTI/1965 tanggal 6 Desember 1965.

Dengan penunjukan Mayor Jenderal Soeharto sebagai Komandan Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban maka operasi-operasi penumpasan dilancarkan di Jakarta maupun di daerah lain (terutama di Jawa Tengah yang menjadi basis PKI). Dalam setiap operasi penumpasan, ABRI selalu mendapat bantuan dari rakyat sehingga usaha untuk menumpas Gerakan 30 September berjalan lancar.

Sebagai tindak lanjut operasi adalah pencarian enam jenazah perwira yang diculik. Atas petunjuk salah seorang polisi yang diculik pasukan “Gerakan 30 September” yang dapat meloloskan diri, tempat penguburan jenazah pucuk pimpinan Angkatan Darat dapat ditemukan. Di tempat itu adalah sebuah sumur tua yang ditimbun oleh sampah. Pada tanggal 4 Oktober 1965 semua jenazah dapat diangkat oleh anggota RPKAD dan KKO-AL (Korps Marinir Angkatan Laut) dengan menggunakan peralatan khusus. Jenazah para perwira itu kemudian dimakamkan pada atanggal 5 Oktober 1965 di Taman Makam Pahlawan Kalibata.

 

2.     Aksi-aksi terhadap Orde Lama

Di berbagai daerah, terutama di Pulau Jawa dan Bali, sampai bulan Desember 1965, PKI secara militer dapat dilumpuhkan ABRI dan rakyat. Rakyat di berbagai daerah menangkapi dan bahkan membunuh pemimpin PKI tanpa ampun lagi. Melihat hal itu, banyak di antara tokoh-tokoh PKI di daerah-daerah menyatakan keluar dari PKI dan meminta perlindungan ABRI. Di Jawa Barat, pembubaran PKI dilakukan secara meyeluruh oleh Panglima Daerah setempat. Hal serupa terjadi pula di Maluku, Sumatera, maupun Sulawesi. Kebijaksanaan pembubaran PKI dapat mencegah tindakan main hakim sendiri yang dilakukan rakyat.

Meskipun secara militer PKI telah lumpuh akan tetapi secara politis organisasi yang berideologikan komunis itu belum hancur. Presiden Soekarno juga belum bersedia menindak PKI yang telah dengan terang-terangan melakukan pemberontakan terhadap negara. Sikap Presiden Soekarno yang tidak menentu itu menimbulkan ketidaksabaran rakyat. Ketidaksabaran itu kemudian mewujud menjadi aksi tuntutan. Aksi-aksi terutama menuntut penyelesaian yang seadil-adilnya terhadap pelaku G30S/PKI.

Pada awalnya aksi tuntutan dipelopori oleh para mahasiswa.Tetapi dalam perkembangannya, aksi itu diikuti oleh berbagai organisasi kemasyarakatan. Di antara para pelaku aksi itu kemudian mengelompokan diri sesuai predikat dan perannya di dalam masyarakat. Kelompok aksi itu antara lain KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia), KAPI (Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia), KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia), KABI (Kesatuan Aksi Buruh Indonesia), KASI (Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia), KAWI (Kesatuan Aksi Wanita Indonesia), dan KAGI (Kesatuan Aksi Guru Indonesia).

Pada tanggal 26 Oktober 1965 seluruh aksi kelompok di atas membentuk barisan bersama dalam satu front yang disebut Front Pancasila. Dengan terbentuknya Front Pancasila, gelombang tuntutan terhadap pembubabaran PKI semakin kuat dan meluas. Situasi tersebut menjurus ke arah konflik politik yang semakin panas. Sementara itu keadaan ekonomi semakin memburuk akibat peristiwa G30S/PKI. Kebijaksanaan keuangan yang dikeluarkan pada tanggal 13 Desember 1965 tentang Devaluasi Uang rupiah tidak berhasil memperbaiki keadaan ekonomi. Bahkan inflasi makin terus meningkat. Akibatnya rakyat makin menderita, harga-harga barang membumbung tinggi terutama barang-barang kebutuhan pokok.

Dalam suasana yang penuh dengan ketidaksabaran dan ketidakpuasan tercetuslah TRITURA. TRITURA adalah Tri Tuntutan Rakyat atau Tiga Tuntutan Rakyat. Tiga Tuntutan Rakyat itu adalah: 1). Rakyat menuntut pembubaran PKI; 2). Rakyat menuntut pembersihan Kabinet dan Unsur-Unsur G30S/PKI; 3. Rakyat menuntut penurunan harga dan perbaikan ekonomi. Lahirnya TRITURA tersebut dipelopori oleh KAMI dan KAPPI. KAMI dan KAPPI ini pada tanggal 10 Januari 1966 mengajukan Tiga Tuntutan Rakyat kapada DPR-GR.

 3.    Lahirnya Surat Perintah 11 Maret 1966

Pada taggal 24 Februari, Presiden Soekarno mengadakan perombakan terhadap Kabinet Dwikora. Perombakan kabinet tersebut mengundang kemarahan rakyat, terutama mahasiswa. Mereka marah karena susunan menteri-menteri dalam kabinet tidak sesuai dengan harapan rakyat seperti yang diajukan dalam TRITURA. Menteri-menteri dalam kabinet Dwikora yang disempurnakan, menurut dugaan mahasiswa masih banyak yang terlibat dalam peristiwa G30S/PKI.

Pada hari pelantikan “Kabinet Dwikora yang disempurnakan”, meledaklah demonstrasi di jalan-jalan hingga sampai ke depan Istana Merdeka tempat pelantikan kebinet tersebut. Jalan-jalan dipenuhi oleh para demonstran. Mereka melakukan aksi pengempesan ban-ban kendaraan yang lewat sehingga kemacetan timbul dimana-mana di sebagian wilayah Ibu Kota Jakarta. Suasana semakin panas ketika seorang mahasiswa Universitas Indonesia, Arief Rahman Hakim tewas tertembak.

Di tengah suasana itu, Presiden Soekarno yang berada di Istana Negara memimpin sidang, mendapat laporan bahwa di luar Istana terdapat sejumlah pasukan yang tidak dikenal. Kemudian oleh sipelapor dianjurkan bahwa demi keamanan Presiden, sebaiknya Presiden meninggalkan ruang sidang menuju ke tempat yang aman. Akhirnya Presiden keluar dari Istana Negara dan pergi menuju Istana Bogor dengan pesawat helikopter yang sudah tersedia.

Seusai sidang, tiga orang peserta sidang, yang terdiri dari Mayor Jenderal Basuki Rakhmat (Menteri Veteran), Brigadir Jenderal M. Yusuf (Menteri Perindustrian Dasar), dan Brigadir Jenderal Amir Machmud (Pangdam Jaya) menghadap Menteri Panglima Angkatan Darat Letnan Jenderal Soeharto yang kebetulan tidak hadir mengikuti sidang karena sakit. Mereka menemui Letnan Jenderal Soeharto untuk melaporkan seluruh hasil sidang kabinet, sekaligus memohon ijin untuk menjelaskan situasi yang sebenarnya terjadi di Jakarta kepada Presiden Soekarno yang sedang berada di Istana Bogor, Letnan Jenderal Soeharto mengijinkan. Tidak lupa, ia menitipkan pesan untuk Presiden Soekarno. Isi pesannya menyatakan bahwa Letnan Jenderal Soeharto siap mengatasi keadaan apabila Presiden Soekarno mempercayakan hal itu kepadanya.

Sesampainya di Bogor, ketiga perwira tinggi militer tersebut langsung mengadakan pembicaraan yang mendalam dengan Presiden Soekarno. Hasil pembicaraan itu antara lain, Presiden Soekarno bersedia memberikan surat perintah kepada Letnan Jenderal Soeharto untuk mengatasi situasi saat itu. Presiden Soekarno kemudian menugaskan Dr.Soebandrio, Dr.Chaerul Saleh, dr.J.Leimena, Mayor Jenderal Basuki Rakhmat, Brigadir Jenderal M.Yusuf, Brigadir Jenderal Amir Machmud, serta Brigadir Jenderal Sobur untuk merumuskan surat perintah tersebut. Surat selesai dirumuskan dan siap ditandatangani pada pukul 19.00 WIB. Setelah Presiden Soekarno membaca dan menyetujui bunyi surat serta menandatanganinya, surat itu dibawa ketiga perwira tadi malam itu juga kepada Letnan Jenderal Soeharto di Jakarta.           

 

Surat perintah itu ditandatangani pada tanggal 11 Maret 1966. Oleh karena itu, surat tersebut dikenal dengan nama Surat Perintah 11 Maret. Surat inilah yang kemudian menjadi titik tolak kehidupan zaman Orde Baru.

Setelah menerima surat itu, Letnan Jenderal Soeharto kemudian melakukan serangkaian tindakan. Tindakan Letnan Jenderal Soeharto tersebut didukung oleh rakyat karena memenuhi harapan rakyat yang tertera dalam Tritura. Tindakan yang dilakukan meliputi: 1).  Pada tanggal 12 Maret 1966 Letnan Jenderal Soeharto membubarkan dan melarang PKI beserta organisasi massa yang bernaung dan berlindung ataupun seasas dengannya di seluruh wilayah Indonesia. 2). Dikeluarkannya Keputusan Presiden Nomor 5 tanggal 18 Maret 1966 tentang penahanan 15 orang menteri yang dinilai terlibat di dalam pemberontakan G30S/PKI atau memperlihatkan itikad tidak baik dalam rangka penyelesaian masalah itu.

Dalam rangka penataan kembali kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, pada tanggal 20 Juni 1966 MPRS mengadakan sidang yang ke-4. Sidang yang berlangsung hingga tanggal 5 Juli 1966 tersebut menghasilkan berbagai keputusan yang sangat penting yang merupakan langkah-langkah pokok dalam usaha mengadakan koreksi total terhadap penyelewengan-penyelewengan yang dilakukan pada masa Orde Lama. Di antara ketetapan MPRS adalah:

    • Ketetapan MPRS Nomor IX/MPRS/1966 tentang Pengukuhan Surat Perintah 11 Maret.
    • Ketetapan MPRS Nomor XIII/MPRS/1966 tentang Kabinet Ampera.
    • Ketetapan MPRS Nomor XX/MPRS/1966 tentang Memorondum DPRGR mengenai Sumber Tertib Hukum RI dan Tata Urutan Peraturan Pemerintah RI.
    • Ketetapan MPRS Nomor XXIII/MPRS/1966 tentang Pembaharuan Kebijaksanaan Landasan Ekonomi dan Pembangunan.

Keempat ketetapan itu mempunyai pengaruh langsung terhadap jalannya pemerintahan yang stabil, baik politik maupun ekonomi. Secara politik, pengukuhan Surat Perintah 11 Maret 1966 menjadi Ketetapan MPRS membuat posisi pengemban Supersemar menjadi lebih kuat dibanding sebelum dikukuhkan. Langkah-langkah penting untuk menjalankannya pun menjadi lebih kuat secara hukum. Ketetapan itu sekaligus mengikat terhadap ketetapan berikutnya, yaitu Ketetapan Nomor XIII tentang Kabinet Ampera. Kendati pimpinan kabinet tetap Presiden Soekarno, pelaksanaannya antara lain diserahkan kepada pengemban amanat Surat Perintah 11 Maret (Letanan Jenderal Soeharto). Presiden hanya berfungsi sebagai simbol belaka.

Kenyataan itu tentu saja membingungkan berbagai kalangan karena tampak adanya dualisme kepemimpinan. Oleh karena itu, rentang waktu 1966-1967 disebut sebagai masa dualisme kepemimpinan. Untuk mengatasi hal itu, MPRS bersidang pada tanggal 7-12 Maret 1967. Hasil sidang memutuskan mencabut kekuasaan pemerintahan negara dari Presiden Soekarno dan mengangkat Jenderal Soeharto menjadi Presiden sampai dapat dipilihnya Presiden oleh MPR hasil Pemilu.

Dengan demikian , dualisme kepemimpinan dapat diakhiri. Dan Pejabat Presiden yang baru, Jenderal Soeharto dapat dengan leluasa melaksanakan Ketetapan MPRS Nomor XXIII/MPRS/1966 tentang Pembangunan Bidang ekonomi dengan landasan ekonomi baru yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.

4.    Penataan Kembali Politik Luar Negeri

Penataan kembali politik luar negeri Indonesia pada masa Orde Baru dapat ditelusuri pada awal terbentuknya Kabinet Ampera. Kebinet Ampera adalah kabinet pengganti setelah Kabinet Dwikora dibubarkan pada tanggal 25 Juli 1966. Tugas pokok Kabinet Ampera berdasarkan Tap. MPRS Nomor XIII tahun 1966 adalah mewujudkan stabilitas politik dan ekonomi. Tugas pokok kabinet ini dikenal dengan nama Dwi Dharma. Adapun program kabinet Ampera yang dikenal dengan nama Catur Karya meliputi:

1.Memperbaiki prikehidupan rakyat terutama di bidang sandang pangan;

2.Melaksanakan pemilihan umum dalam batas waktu seperti dicantumkan dalam ketetapan MPRS Nomor XI/MPRS/1966;

3.Melaksanakan politik luar negeri yang bebas dan aktif untuk kepentingan nasional sesuai dengan Ketetapan MPRS Nomor XII/MPRS/1966;

4.Melanjutkan perjuangan anti imperialisme dan kolonialisme dalam segala bentuknya.

Dari program butir 3, Indonesia menempatkan garis politik luar negerinya kepada politik yang bebas dan aktif dan bukan politik yang condong ke dalam salah satu blok seperti ketika pada masa Orde Lama. Pada masa Orde Lama, negara kita terkucil dari pergaulan internasional. Untuk memperbaikinya, Kabinet Ampera bertekad menata kembali politik yang bebas dan aktif sesuai amanat Ketetapan MPRS.

License: public domain