Skip navigation

Perkembangan Kehidupan Bangsa Indonesia Pada Masa Demokrasi Liberal

   1. Perkembangan Kehidupan Politik Masa Demokrasi Liberal

Periode antara tahun 1950-1959 dalam sejarah Indonesia disebut sebagai sistem Demokrasi Palementer yang memperlihatkan semangat belajar berdemokrasi. Oleh karena itu, sistem pemerintahan yang dibangun mengalami kendala yang mengakibatkan jatuh bangun kabinet. Periode ini disebut oleh Wilopo, salah seorang Perdana Menteri di era tersebut (1952-1953) sebagai zaman pemerintahan partai-partai. Banyaknya partai-partai dianggap sebagai salah satu kendala yang mengakibatkan kabinet/ pemerintahan tidak berusia panjang dan silih berganti.

Ketika pemerintahan Republik Indonesia Serikat dibubarkan pada Agustus 1950, RI kembali menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Perubahan bentuk pemerintahan diikuti pula perubahan undang-undang dasarnya dari Konstitusi RIS ke UUD Sementara 1950. Perubahan ke UUD sementara ini membawa Indonesia memasuki masa Demokrasi Liberal. Masa Demokrasi Liberal di Indonesia memiliki ciri banyaknya partai politik yang saling berebut pengaruh untuk memegang tampuk kekuasaan. Hal tersebut membawa dampak terganggunya stabilitas nasional di berbagai bidang kehidupan.

Pada era Demokrasi Liberal yang berlangsung dari 1950-1959  ada tujuh kabinet yang memegang pemerintahan, sehingga hampir setiap tahun terjadi pergantian kabinet. Jatuh bangunnya kabinet ini membuat program-program kabinet tidak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. Kondisi inilah yang menyebabkan stabilitas nasional baik di bidang politik, ekonomi, sosial dan keamanan terganggu. Pada era ini juga, Indonesia menjalankan pemilihan umum pertama yang diikuti oleh banyak partai politik. Pemilu 1955 merupakan tonggak demokrasi pertama di Indonesia. Pemilu ini dilaksanakan untuk memilih anggota Parlemen dan anggota Konstituante. Konstituante diberi tugas untuk membentuk UUD baru menggantikan UUD sementara. Sayangnya beban tugas yang diemban oleh Konstituante tidak dapat diselesaikan. Kondisi ini menambah kisruh situasi politik pada masa itu sehingga mendorong Presiden Soekarno untuk mengeluarkan Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959. Dekrit tersebut membawa Indonesia mengakhir masa demokrasi parlementer dan memasuki Demokrasi Terpimpin.

Terkait dengan  pembahasan  mengenai perkembangan politik pada masa demokrasi liberal akan diuraikan mengenai system pemerintahan, system kepartaian dan Pelaksanaan Pemilu I tahun 1955

 

a. Sistem Pemerintahan Pada Masa Demokrasi Liberal

Indonesia sampai dengan tahun 1950an telah menjalankan dua sistem pemerintahan yang berbeda, yaitu sistem presidensial dan sistem parlementer. Tidak sampai satu tahun setelah kemerdekaan, sistem pemerintahan presidensial digantikan dengan sistem pemerintahan parlementer. Hal ini ditandai dengan pembentukan kabinet parlementer pertama pada November 1945 dengan Syahrir sebagai perdana menteri. Sejak saat itulah jatuh bangun kabinet pemerintahan di Indonesia terjadi. Namun pelaksanaan sistem parlementer ini tidak diikuti dengan perubahan UUD. Baru pada masa Republik Indonesia Serikat pelaksanaan sistem parlementer dilandasi oleh Konstitusi, yaitu Konstitusi RIS. Begitu juga pada masa Demokrasi Liberal, pelaksanaan sistem parlementer dilandasi oleh UUD Sementara 1950 atau dikenal dengan Konstitusi Liberal.

Ketika Indonesia kembali menjadi negara kesatuan, UUD yang digunakan sebagai landasan hukum Republik Indonesia bukan kembali UUD 1945, sebagaimana yang ditetapkan oleh PPKI pada awal kemerdekaan, namun menggunakan UUD Sementara 1950.

Salah satu ciri yang nampak dalam masa ini adalah kerap kali terjadi penggantian kabinet. Mengapa sering kali terjadi pergantian kabinet? Hal ini terutama disebabkan adanya perbedaan kepentingan diantara partai-partai yang ada. Perbedaan diantara partai-partai tersebut tidak pernah dapat terselesaikan dengan baik sehingga dari tahun 1950 sampai tahun 1959 terjadi silih berganti kabinet.  mulai Kabinet Natsir (Masyumi) 1950-1951; Kabinet Sukiman (Masyumi) 1951-1952; Kabinet Wilopo (PNI) 1952-1953; Kabinet Ali Sastroamijoyo I (PNI) 1953-1955; Kabinet Burhanuddin Harahap (Masyumi) 1955-1956; Kabinet Ali Sastroamijoyo II (PNI) 1956-1957 dan Kabinet Djuanda (Zaken Kabinet) 1957-1959.

b. Pelaksanaan Pemerintahan Masa Demokrasi Liberal

Tahun 1950-1959 merupakan masa memanasnya partai-partai politik pada pemerintahan Indonesia. Pada masa ini terjadi pergantian kabinet, partai-partai politik terkuat mengambil alih kekuasaan. PNI dan Masyumi merupakan partai yang terkuat dalam DPR (Parlemen).  Dalam waktu lima tahun (1950 -1955) PNI dan Masyumi secara bergantian memegang hegemoni poltik dalam empat kabinet yang pernah berlaku. Adapun susunan kabinetnya sebagai berikut;

 1. Kabinet Natsir (6 September 1950 - 21 Maret 1951)

Kabinet ini dilantik pada tanggal 7 September 1950 dengan Mohammad Natsir dari Partai Masyumi sebagai perdana menteri. Kabinet Natsir merupakan koalisi yang dipimpin oleh partai Masyumi bersama dengan PNI. Kabinet ini memiliki struktur yang terdiri dari tokoh – tokoh terkenal duduk di dalamnya, seperti Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Mr.Asaat, Ir.Djuanda, dan Prof Dr. Soemitro Djojohadikoesoemo.

Program pokok dari Kabinet Natsir adalah:

      • Menggiatkan usaha keamanan dan ketentraman.
      • Mencapai konsolidasi dan menyempurnakan susunan pemerintahan.
      • Menyempurnakan organisasi Angkatan Perang.
      • Mengembangkan dan memperkuat ekonomi rakyat.
      • Memperjuangkan penyelesaian masalah Irian Barat.

Dalam menjalankan fungsi dan tugasnya, kabinet Natsir mendapatkan tugas utama yaitu proses integrasi Irian Barat. Akan tetapi, Kabinet Natsir kemudian mendapatkan kendala yaitu pada masa kabinet ini terjadi banyak pemberontakan seperti: Gerakan DI/TII, Gerakan Andi Azis, Gerakan APRA, Gerakan Republik Maluku Selatan (RMS). Kabinet Natsir memiliki keberhasilan dalam upaya perundingan antara Indonesia-Belanda untuk pertama kalinya mengenai masalah Irian Barat. Dalam bidang ekonomi kabinet ini memperkenalkan sistem ekonomi Gerakan Benteng  yang direncanakan oleh Menteri Ekonomi, Sumitro Djojohadikusumo. Program ini bertujuan untuk mengubah struktur ekonomi kolonial menjadi struktur ekonomi nasional (pembangunan ekonomi Indonesia).

 2. Kabinet Sukiman (27 April 1951 – 3 April 1952)

Setelah Kabinet Natsir mengembalikan mandatnya pada presiden, presiden menunjuk Sartono (Ketua PNI) menjadi formatur, namun gagal, sehingga ia mengembalikan mandatnya kepada presiden setelah bertugas selama 28 hari (28 Maret-18 April 1951). Presiden Soekarno kemudian menunjukan Sidik Djojosukatro dari PNI dan Soekiman Wijosandjojo dari Masyumi sebagai formatur dan berhasil membentuk kabinet koalisi Masyumi-PNI. Kabinet ini terkenal dengan nama Kabinet Soekiman-Soewirjo.

Kabinet ini mengutamakan skala prioritas terhadap peningkatan keamanan dan ketentraman negara. RMS. dan lainnya. Akan tetapi kabinet ini kemudian mengalami sandungan setelah parlemen mendengar bahwa kabinet ini menjalin kerja sama dengan blok barat, yaitu Amerika Serikat.

Program pokok dari Kabinet Soekiman adalah:

    1. Menjamin keamanan dan ketentraman
    2. Mengusahakan kemakmuran rakyat dan memperbaharui hukum agraria agar sesuai dengan kepentingan petani.
    3. Mempercepat persiapan pemilihan umum.
    4. Menjalankan politik luar negeri secara bebas aktif serta memasukkan Irian Barat ke dalam wilayah RI secepatnya.
    5. Menyiapkan undang – undang tentang pengakuan serikat buruh, perjanjian kerja sama, penetapan upah minimum, dan penyelesaian pertikaian buruh.

Kabinet Sukiman ditenggarai melakukan Pertukaran Nota Keuangan antara Mentri Luar Negeri Indonesia Soebardjo dengan Duta Besar Amerika Serikat Merle Cochran mengenai pemberian bantuan ekonomi dan militer dari pemerintah Amerika kepada Indonesia berdasarkan ikatan Mutual Security Act (MSA).

MSA sendiri kemudian dinilai mengkhianati politik luar negeri bebas dan aktif Indonesia karena menerima MSA sama saja dengan ikut serta dalam kepentingan Amerika. Tindakan Kabinet Sukiman tersebut dipandang telah melanggar politik luar negara Indonesia yang bebas aktif karena lebih condong ke blok barat bahkan dinilai telah memasukkan Indonesia ke dalam blok barat.

Kabinet Sukiman sendiri memiliki hubungan yang kurang harmonis dengan militer dan kurang prograsif menghadapi pemberontakan di Jawa Barat, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan. Parlemen pada akhirnya menjatuhkan mosi tidak percaya kepada Kabinet Sukiman. Sukiman kemudian harus mengembalikan mandatnya kepada Presiden Soekarno.

3. Kabinet Wilopo (3 April 1952 – 3 Juni 1953)

Pada tanggal 1 Maret 1952, Presiden Soekarno Wilopo dari PNI sebagai formatur. Setelah bekerja selama dua minggu berhasil dibentuk kabinet baru di bawah pimpinan Perdana Mentari Wilopo, sehingga bernama Kabinet Wilopo. Kabinet ini mendapat dukungan dari PNI, Masyumi, dan PSI.

 Program pokok dari Kabinet Wilopo adalah:

      1. Program dalam negeri
        1. Menyelenggarakan pemilihan umum untuk memilih Dewan Konstituante, DPR, dan DPRD 
        2. Meningkatkan kemakmuran rakyat, 
        3. Meningkatkan pendidikan rakyat, dan 
        4. Pemulihan stabilitas keamanan negara
      2. Program luar negeri: 
        1. Penyelesaian masalah hubungan Indonesia-Belanda,
        2. Pengembalian Irian Barat ke pangkuan Indonesia, serta 
        3. Menjalankan politik luar negeri yang bebas-aktif.

Dalam menjalankan tugasnya Kabinet Wilopo menghadapi krisis ekonomi, defisit kas negara, dan meningkatnya tensi gangguan keamanan yang disebabkan pergerakan gerakan sparatis yang progresif. Ketimpangan Jawa dan luar Jawa membuat terjadi gelombang ketidakpuasan di daerah yang memperparah kondisi politik nasional. Kabinet Wilopo juga harus menghadapi konflik 17 Oktober 1952 yang menempatkan TNI sebagai alat sipil dan munculnya masalah intern dalam TNI sendiri. Konflik semakin diperparah dengan adanya surat yang menjelekkan kebijakan Kolonel Gatot Subroto dalam usahanya memulihkan keamanan di Sulawesi Selatan

Munculnya Peristiwa Tanjung Morawa mengenai persoalan tanah perkebunan di Sumatera Timur (Deli), Peristiwa Tanjung Morawa merupakan peristiwa bentrokan antara aparat kepolisian dengan para petani liar yang di dukung PKI mengenai persoalan tanah perkebunan di Sumatera Timur (Deli). Akibat peristiwa Tanjung Morawa muncullah mosi tidak percaya dari Serikat Tani Indonesia terhadap kabinet Wilopo. Sehingga Wilopo harus mengembalikan mandatnya pada presiden pada tanggal 2 Juni 1953.

4. Kabinet Ali Sastroamijoyo I (31 Juli 1953 – 12 Agustus 1955)

Kabinet Ali Sastroamidjojo yang terbentuk pada 31 Juli 1953 merupakan kabinet ke-empat yang dibentuk selama Masa Demokrasi Liberal. Kabinet ini mendapatkan dukungan banyak partai di Parlemen, termasuk Partai Nahdlatul Ulama (NU). Kabinet ini diketuai oleh PM. Ali Sastroamijoyo dan Wakil PM. Mr. Wongsonegoro dari Partai Indonesia Raya (PIR).

Program pokok dari Kabinet Ali Sastroamijoyo I:

      1. Meningkatkan keamanan dan kemakmuran
      2. Menyelenggarakan Pemilu dengan segera
      3. Pembebasan Irian Barat secepatnya
      4. Pelaksanaan politik bebas-aktif
      5. Peninjauan kembali persetujuan KMB.
      6. Penyelesaian pertikaian politik.

Dalam menjalankan fungsinya, kabinet ini berhasil melakukan suatu prestasi yaitu:

      • Merampungkan persiapan pemilu yang akan diselenggarakan 29 September 1955
      • Menyelenggarakan Konferensi Asia-Afrika (KAA) pada tahun 1955

Konferensi Asia-Afrika pada tahun 1955 memiliki pengaruh dan arti penting bagi solidaritas dan perjuangan kemerdekaan bangsa-bangsa Asia - Afrika dan juga membawa akibat yang lain, seperti :

Berkurangnya ketegangan dunia

      • Australia dan Amerika mulai berusaha menghapuskan politik diskriminasi ras di negaranya.
      • Indonesia mendapatkan dukungan diplomasi dari negara Asia-Afrika dalam usaha penyatuan Irian Barat di PBB

 

Pada masa pemerintahan kabinet Ali Sastroamidjojo I, Menteri Perekonomian Mr. Iskaq Cokrohadisuryo memperkenalkan sistem ekonomi yang dikenal dengan sistem Ali-Baba. Sistem ekonomi Ali-baba diperuntukan menggalang kerjasama ekonomi antara pengusaha pribumi yang diidentikkan dengan Ali dan penguaha Tionghoa yang diidentikkan dengan Baba.

Kabinet Ali ini juga sama seperti kabinet terdahulu mengalami permasalahan mengatasi pemberontakan di daerah seperti DI/TII di Jawa Barat, Sulawesi Selatan, dan Aceh. Terjadinya Peristiwa 27 Juni 1955, yaitu peristiwa yang menunjukkan adanya kemelut dalam tubuh TNI-AD memperburuk usaha peningkatan keamanan negara. Pada masa kabinet ini keadaan ekonomi masih belum teratasi karena maraknya korupsi dan peningkatan inflasi.

Konflik PNI dan NU memperburuk koalisi partai pendukung Kabinet Ali yang mengakibatkan NU menarik menteri-menterinya  pada tanggal 20 Juli 1955 yang diikuti oleh partai lainnya. Keretakan partai pendukung mendorong Kabinet Ali Sastro I harus mengembalikan mandatnya pada presiden pada tanggal 24 Juli 1955.

5. Kabinet Burhanuddin Harahap (12 Agustus 1955 – 3 Maret 1956)

Kabinet Ali selanjutnya digantikan oleh Kabinet Burhanuddin Harahap. Burhanuddin Harahap berasal dari Masyumi, sedangkan PNI membentuk oposisi.                               

Program pokok dari Kabinet Burhanuddin Harahap adalah:

    1. Mengembalikan kewibawaan pemerintah, yaitu mengembalikan kepercayaan Angkatan Darat dan masyarakat kepada pemerintah.
    2. Melaksanakan pemilihan umum menurut rencana yang sudah ditetapkan dan mempercepat terbentuknya parlemen baru
    3. Masalah desentralisasi, inflasi, pemberantasan korupsi
    4. Perjuangan pengembalian Irian Barat
    5. Politik Kerjasama Asia-Afrika berdasarkan politik luar negeri bebas aktif.

 Kabinet Burhanuddin Harap ini mencatatkan sejumlah keberhasilan dalam menjalankan fungsinya, seperti:

    • Keberhasilan menyelenggarakan Pemilu pada 29 September 1955 untuk memilih anggota DPR dan 15 Desember untuk memilih Dewan Konstituante.
    • Membubarkan Uni Indonesia-Belanda
    • Menjalin hubungan yang harmonis dengan Angkatan Darat
    • Bersama dengan Polisi Militer melakukan penangkapan para pejabat tinggi yang terlibat korupsi

Pemilu yang dilakukan pada tahun 1955 menghasilkan 4 partai besar di Parlemen yaitu, PNI, NU, Masyumi, dan PKI. Pemilu itu diikuti oleh 27 dari 70 partai yang lolos seleksi.

Kabinet ini mengalami gangguan ketika kebijakan yang diambil berdampak pada banyaknya mutasi dalam lingkungan pemerintahan yang dianggap menimbulkan ketidaktenangan. Kabinet ini sendiri mengembalikan mandatnya kepada Presiden Soekarno ketika anggota Parlemen yang baru kurang memberikan dukungan kepada kabinet.

6. Kabinet Ali Sastramojoyo II (20 Maret 1956 – 4 Maret 1957)

Pada tanggal 20 Maret 1956, didukung oleh tiga partai besar di Parlemen: PNI, NU, dan Masyumi. Ali Sastroamijoyo mendapatkan mandat untuk kedua kalinya membentuk kabinet. Program pokok dari Kabinet Ali Sastroamijoyo II adalah Program kabinet ini disebut  Rencana Pembangunan Lima Tahun yang memuat program jangka panjang, sebagai berikut:

      1. Perjuangan pengembalian Irian Barat
      2. Pembentukan daerah-daerah otonomi dan mempercepat terbentuknya anggota-anggota DPRD.
      3. Mengusahakan perbaikan nasib kaum buruh dan pegawai.
      4. Menyehatkan perimbangan keuangan negara.
      5. Mewujudkan perubahan ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional berdasarkan kepentingan rakyat.
      6. Pembatalan KMB
      7. Pemulihan keamanan dan ketertiban, pembangunan lima tahun, menjalankan politik luar negeri bebas aktif
      8. Melaksanakan keputusan KAA.

Kabinet ini mendapatkan dukungan penuh dari Parlemen dan Presiden Soekarno, sehingga dianggap sebagai titik tolak dari periode planning and investment. Kabinet ini berhasil melakukan pembatalan seluruh perjanjian KMB. 

Pada masa kabinet ini muncul gelombang anti Cina di masyarakat, meningkatnya pergolakan dan kekacauan di daerah yang semakin menguat, serta mengarah pada gerakan sparatisme dengan pembentukan dewan militer di Sumater dan Sulawesi.
Lambatnya pertumbuhan ekonomi dan pembangunan mengakibatkan krisis kepercayaan daerah luar Jawa dan menganggap pemerintah pilih kasih dalam melakukan pembangunan. Pembatalan KMB menimbulkan masalah baru khususnya mengenai nasib modal pengusaha Belanda di Indonesia. Timbulnya perpecahan antara Masyumi dan PNI mengakibatkan mundurnya sejumlah menteri dari Masyumi membuat kabinet hasil Pemilu ini jatuh dan menyerahkan mandatnya pada presiden.

7. Kabinet Djuanda (9 April 1957- 5 Juli 1959)

Kabinet baru kemudian dipimpin oleh Ir. Djuanda yang kemudian membentuk kabinet yang terdiri dari para menteri yang ahli dalam bidangnya. Kabinet ini dikenal dengan istilah Zaket Kabinet karena harus berisi unsur ahli dan golongan intelektual dan tidak adanya unsur partai politik di dalamnya.

 Program pokok dari Kabinet Djuanda dikenal sebagai Panca Karya yaitu:

      • Membentuk Dewan Nasional
      • Normalisasi keadaan RI
      • Melancarkan pelaksanaan Pembatalan KMB
      • Perjuangan pengembalian Irian Jaya
      • Mempergiat/mempercepat proses Pembangunan

Presiden Soekarno juga pernah mengusulkan dibentuknya Dewan Nasional ini sebagai langkah awal demokrasi terpimpin.

Pada masa kabinet Juanda, terjadi pergolakan-pergolakan di daerah-daerah yang menghambat hubungan antara pusat dan daerah. Untuk mengatasinya diadakanlah Musyawarah Nasional atau Munas di Gedung Proklamasi Jalan Pegangsaan Timur No. 56 tanggal 14 September 1957. Munas tersebut membahas beberapa hal, yaitu masalah pembangunan nasional dan daerah, pembangunan angkatan perang, dan pembagian wilayah Republik Indonesia. Munas selanjutnya dilanjutkan dengan musyawarah nasional pembangunan (munap) pada bulan November 1957.

Tanggal 30 November 1957, terjadi percobaan pembunuhan terhadap Presiden Soekarno di Cikini.

 

Keberhasilan Kabinet Karya yang paling menguntungkan kedaulatan Indonesia dengan dikeluarkannya Deklarasi Djuanda yang mengatur batas wilayah kepulauan Indonesia. Kemudian dikuatkan dengan peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang No. 4 prp. Tahun 1960 tentang perairan Indonesia. Pasca Deklarasi Djuanda, perairan Indonesia bertambah luas sampai 12 mil yang sebelumnya hanya 3 mil.
Sebelum deklarasi Djuanda, wilayah negara Republik Indonesia mengacu pada Ordonansi Hindia Belanda 1939, yaitu Teritoriale Zeeën en Maritieme Kringen Ordonantie 1939 (TZMKO 1939). Dalam peraturan zaman Hindia Belanda ini, pulau-pulau di wilayah Nusantara dipisahkan oleh laut di sekelilingnya dan setiap pulau hanya mempunyai laut di sekeliling sejauh 3 mil dari garis pantai. Ini berarti kapal asing boleh dengan bebas melayari laut yang memisahkan pulau-pulau tersebut.

Perlu kalian ketahui bahwa pada masa Demokrasi Parlementer ini luas wilayah Indonesia tidak seluas wilayah Indonesia saat ini. Karena Indonesia masih menggunakan peraturan kolonial terkait dengan batas wilayah, Zeenen Maritieme Kringen Ordonantie, 1939 yang dalam pasal 1 menyatakan bahwa:

“laut territorial Indonesia itu lebarnya 3 mil diukur dari garis air rendah (laagwaterlijn) dari pada pulau-pulau dan bagian pulau yang merupakan bagian dari wilayah daratan (grondgebeid) dari Indonesia.”

 

  Berdasarkan pasal tersebut, Indonesia jelas merasa dirugikan, lebar laut 3 mil dirasakan tidak cukup menjamin dengan sebaik-baiknya kepentingan rakyat dan negara. Batas 3 mil dari daratan menyebabkan adanya laut-laut bebas yang memisahkan pulau-pulau di Indonesia. Hal ini menyebabkan kapal-kapal asing bebas mengarungi lautan tersebut tanpa hambatan. Kondisi ini akan menyulitkan Indonesia dalam melakukan pengawasan wilayah Indonesia. Sebagai suatu negara yang berdaulat Indonesia berhak dan berkewajiban untuk mengambil tindakan-tindakan yang dianggap perlu untuk melindungi keutuhan dan keselamatan Republik Indonesia.

Melihat kondisi inilah kemudian pemerintahan Kabinet Djuanda mendeklarasikan hukum teritorial kelautan nusantara yang berbunyi:

Segala perairan di sekitar, diantara dan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagan pulau-pulau yang termasuk daratan Negara Republik Indonesia, dengan tidak memandang luas atau lebarnya adalah bagian-bagian yang wajar daripada wilayah daratan Negara Republik Indonesia dan dengan demikian merupakan bagian dari pada perairan nasional yang berada di bawah kedaulatan mutlak dari pada Negara Republik Indonesia. Lalu lintas yang damai di perairan pedalaman ini bagi kapal-kapal asing dijamin selama dan sekedar tidak bertentangan dengan/ menganggu kedaulatan dan keselamatan negara Indonesia. (Sumber: Hasjim Djalal, 2006)

 

 

 

 

 

 

 

 

Sumber : Atlas Nasional Indonesia (Bakosurtanal, 2011)

 

Gambar 2.4 Wilayah Indonesia berdasarkan Deklarasi Juanda

 

Dari deklarasi tersebut dapat kita lihat bahwa faktor keamanan dan pertahanan merupakan aspek penting, bahkan dapat dikatakan merupakan salah satu sendi pokok kebijaksanaan pemerintah mengenai perairan Indonesia. Dikeluarkannya deklarasi ini membawa manfaat bagi Indonesia yaitu mampu menyatukan wilayah-wilayah Indonesia dan sumber daya alam dari laut bisa dimanfaatkan dengan maksimal. Deklarasi tersebut kemudian dikenal sebagai Deklarasi Djuanda.

Deklarasi Djuanda mengandung konsep bahwa tanah air yang tidak lagi memandang laut sebagai alat pemisah dan pemecah bangsa, seperti pada masa kolonial, namun harus dipergunakan sebagai alat pemersatu bangsa dan wahana pembangunan nasional.

c.   Sistem Kepartaian

Partai politik merupakan suatu kelompok terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama. Tujuan dibentuknya partai politik adalah untuk memperoleh, merebut dan mempertahankan kekuasaan secara konstitusional. Jadi munculnya partai politik erat kaitannya dengan kekuasaan.

Sistem kepartaian yang dianut pada masa demokrasi liberal adalah multi partai. Pembentukan partai politik ini menurut Mohammad Hatta agar memudahkan dalam mengontrol perjuangan lebih lanjut. Hatta juga menyebutkan bahwa pembentukan partai politik ini bertujuan untuk mudah dapat mengukur kekuatan perjuangan kita dan untuk mempermudah meminta tanggung jawab kepada pemimpin-

pemimpin barisan perjuangan. Walaupun pada kenyataannya partai-partai politik tersebut cenderung untuk memperjuangkan kepentingan golongan dari pada kepentingan nasional. Partai-partai politik yang ada saling bersaing, saling mencari kesalahan dan saling menjatuhkan. Partai-partai politik yang tidak memegang jabatan dalam kabinet dan tidak memegang peranan penting dalam parlemen sering melakukan oposisi yang kurang sehat dan berusaha menjatuhkan partai politik yang memerintah.

Hal inilah yang menyebabkan pada era ini sering terjadi pergantian kabinet, kabinet tidak berumur panjang sehingga program-programnya tidak bisa berjalan sebagaimana mestinya yang menyebabkan terjadinya instabilitas nasional baik di bidang politik, sosial ekonomi dan keamanan.

Kondisi inilah yang mendorong Presiden Soekarno mencari solusi untuk membangun kehidupan politik Indonesia yang akhirnya membawa Indonesia dari sistem demokrasi liberal menuju demokrasi terpimpin.

d. Pelaksanaan Pemilu I Tahun 1955

Pemilu adalah sesuatu yang sangat urgent untuk sebuah negara. Apalagi Pemilu yang dilakukan pertama kali, pasti akan sangat berpengaruh dan tentunya dikenang selama perjalanan perkembangan sebuah negara. Pemilu sendiri adalah termasuk salah satu sarana untuk menjalankan mekanisme demokrasi yang bertujuan untuk membuat rakyat juga bisa merasakan kehidupan bernegara. Di Indonesia, pemilu pertama kali digelar yaitu pada tahun 1955. Pemilu 1955 merupakan Pemilu yang paling bersejarah di Indonesea, ada banyak hal yang membuat Pemilu 1955 begitu dikenang sampai sekarang.

Pelaksanaan pemilihan umum 1955 bertujuan untuk memilih wakil-wakil rakyat yang akan duduk dalam parlemen dan dewan Konstituante. Pemilihan umum ini diikuti oleh partai-partai politik yang ada serta oleh kelompok perorangan. Pemilihan umum ini sebenarnya sudah dirancang sejak kabinet Ali Sastroamijoyo I (31 Juli 1953-12 Agustus 1955) dengan membentuk Panitia Pemilihan Umum Pusat dan Daerah pada 31 Mei 1954. Namun pemilihan umum tidak dilaksanakan pada masa kabinet Ali I karena terlanjur jatuh. Kabinet pengganti Ali I yang berhasil menjalankan pemilihan umum, yaitu kabinet Burhanuddin Harahap.

Pelaksanaan Pemilihan Umum pertama dibagi dalam 16 daerah pemilihan yang meliputi 208 kabupaten, 2139 kecamatan dan 43.429 desa. Pemilihan umum 1955 dilaksanakan dalam 2 tahap. Tahap pertama untuk memilih anggota parlemen yang dilaksanakan pada 29 September 1955 dan tahap kedua untuk memilih anggota Dewan Konstituante (badan pembuat Undang-undang Dasar) dilaksanakan pada 15 Desember 1955. Pada pemilu pertama ini 39 juta rakyat Indonesia memberikan suaranya di kotak-kotak suara.     

Pemilihan umum 1955 merupakan tonggak demokrasi pertama di Indonesia. Keberhasilan penyelenggaraan pemilihan umum ini menandakan telah berjalannya demokrasi di kalangan rakyat. Rakyat telah menggunakan hak pilihnya untuk memilih wakil-wakil mereka. Banyak kalangan yang menilai bahwa pemilihan umum 1955 merupakan pemilu yang paling demokratis yang dilaksanakan di Indonesia.

 Presiden Soekarno dalam pidatonya di Istana Negara dan Parlemen pada 17 Agustus 1955 menegaskan bahwa “pemilihan umum jangan diundurkan barang sehari pun, karena pada pemilihan umum itulah rakyat akan menentukan hidup kepartaian kita yang tidak sewajarnya lagi, rakyatlah yang menjadi hakim”. Penegasan ini dikeluarkan karena terdapat suara-suara yang meragukan terlaksananya pemilu sesuai dengan jadwal semula.

Dalam proses pemilihan umum 1955 terdapat 100 partai besar dan kecil yang mengajukan calon-calonnya untuk anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan 82 partai besar dan kecil untuk Dewan Konstituante. Selain itu masih ada 86 organisasi dan perseorangan akan ikut dalam pemilihan umum. Dalam pendaftaran pemilihan tidak kurang dari 60% penduduk Indonesia yang mendaftarkan namanya (kurang lebih 78 juta), angka yang cukup tinggi yang ikut dalam pesta demokrasi yang pertama. (Feith, 1999)

 

2. Perkembangan Kehidupan Ekonomi pada Masa Demokrasi Liberal

 a. Mencari Sistem Ekonomi Nasional

    1)Pemikiran Ekonomi Nasional         

Pemikiran ekonomi pada 1950an pada umumnya merupakan upaya mengembangkan struktur perekonomian kolonial menjadi perekonomian nasional. Hambatan yang dihadapi dalam mewujudkan hal tersebut adalah sudah berakarnya sistem perekonomian kolonial yang cukup lama. Warisan ekonomi kolonial membawa dampak perekonomian Indonesia banyak didominasi oleh perusahaan asing dan ditopang oleh kelompok etnis Cina sebagai penggerak perekonomian Indonesia. Kondisi inilah yang ingin diubah oleh para pemikir ekonomi nasional di setiap kabinet di era demokrasi parlementer. Upaya membangkitkan perekonomian sudah dimulai sejak kabinet pertama di era demokrasi parlementer, Kabinet Natsir.

Perhatian terhadap perkembangan dan pembangunan ekonomi dicurahkan oleh Soemitro Djojohadikusumo. Ia berpendapat bahwa pembangunan ekonomi Indonesia pada hakekatnya adalah pembangunan ekonomi baru. Soemitro mencoba mempraktikkan pemikirannya tersebut pada sektor perdagangan. Ia berpendapat bahwa pembangunan ekonomi nasional membutuhkan dukungan dari kelas ekonomi menengah pribumi yang kuat. Oleh karena itu, bangsa Indonesia harus sesegera mungkin menumbuhkan kelas pengusaha pribumi, karena pengusaha pribumi pada umumnya bermodal lemah. Oleh karena itu, pemerintah hendaknya membantu dan membimbing para pengusaha tersebutdengan bimbingan konkret dan bantuan pemberian kredit. Jika usaha ini berhasil maka secara bertahap pengusaha pribumi akan dapat berkembang maju dan tujuan mengubah struktur ekonomi kolonial di bidang perdagangan akan berhasil.

Gagasan Soemitro kemudian dituangkan dalam program Kabinet Natsir dalam wujud pencanangan Rencana Urgensi Perekonomian (RUP) yang sering disebut juga dengan Plan Soemitro. Wujud dari RUP tersebut kemudian dicanangkan Program Benteng. Program ini antara lain mencadangkan impor barang-barang tertentu bagi kelompok bisnis pribumi, serta membuka kesempatan bagi para pedagang pribumi membangun basis modal di bawah perlindungan pemerintah. Selain tujuan tersebut, juga untuk menumbuhkan kaum pengusaha pribumi agar mampu bersaing dalam usaha dengan para pengusaha keturunan Cina dan asing lainnya. Upaya yang dilakukan pemerintah adalah memberi peluang usaha sebesar-besarnya bagi pengusaha pribumi dengan bantuan kredit. Dengan upaya tersebut diharapkan akan tercipta kelas pengusaha pribumi yang mampu meningkatkan produktivitas barang dan modal domestik.

Sayangnya dalam pelaksanaan muncul masalah karena dalam pelaksanaan Program Benteng, pemberian lisensi impor banyak yang disalahgunakan. Mereka yang menerima lisensi bukanlah orang-orang yang memiliki potensi kewiraswastaan yang tinggi, namun orang-orang yang mempunyai hubungan khusus dengan kalangan birokrat yang berwenang mendistribusikan lisensi dan kredit. Kondisi ini terjadi karena adanya pertimbangan-pertimbangan politik. Akibatnya, pengusaha-pengusaha yang masuk dalam Program Benteng lamban menjadi dewasa, bahkan ada yang menyalahgunakan maksud pemerintah tersebut untuk mencari keuntungan yang cepat dengan menjual lisensi impor yang dimilikinya kepada pengusaha impor yang sesungguhnya, yang kebanyakan berasal dari keturunan Cina. Penyelewengan lain dalam pelaksanaan Politik Benteng adalah dengan cara mendaftarkan perusahaan yang sesungguhnya merupakan milik keturunan Cina dengan menggunakan nama orang Indonesia pribumi. Orang Indonesia hanya digunakan untuk memperoleh lisensi, pada kenyataannya yang menjalankan lisensi tersebut adalah perusahaan keturunan Cina. Perusahaan yang lahir dari kerja sama tersebut dikenal sebagai perusahaan “Ali-Baba". Ali mewakili Pribumi dan Baba mewakili warga keturuan Cina.

Usaha lain yang dilakukan pemerintah untuk meningkatkan pengusaha pribumi dilakukan melalui “Gerakan Asaat”. Gerakan Asaat memberikan perlindungan khusus bagi warga negara Indonesia Asli dalam segala aktivitas usaha di bidang perekonomian dari persaingan dengan pengusaha asing pada  umumnya dan warga keturuan Cina pada khususnya.

Dukungan dari pemerintah terhadap gerakan ini terlihat dari pernyataan yang dikeluarkan pemerintah pada Oktober 1956 bahwa pemerintah akan memberikan lisensi khusus pada pengusaha pribumi. Ternyata kebijakan pemerintah ini memunculkan reaksi negatif yaitu muncul golongan yang membenci kalangan Cina. Bahkan reaksi ini sampai menimbulkan permusuhan dan pengrusakan terhadap toko-toko dan harta benda milik masyarakat Cina serta munculnya perkelahian antara masyarakat Cina dan masyarakat pribumi.

Pemerintah, selain melakukan upaya perbaikan jangka panjang, juga melakukan upaya perbaikan jangka pendek untuk menguatkan perekonomian Indonesia. Salah satunya adalah mengurangi jumlah uang yang beredar dan mengatasi defisit anggaran. Untuk itu pada tanggal 20 Maret 1950, Menteri Keuangan, Syafrudin Prawiranegara, mengambil kebijakan memotong uang dengan memberlakukan nilai setengahnya untuk mata uang yang mempunyai nominal Rp2,50 ke atas. Kebijakan ini dikenal dengan istilah Gunting Syafrudin.

 Sumber: 30 Tahun Indonesia Merdeka, Deppen, 1975

Gambar 2.6 Contoh Mata Uang yang digunting

Upaya pembangunan ekonomi nasional juga diwujudkan melalui program pembangunan rencana lima tahun, 1956-1960, yang disiapkan oleh Biro Perancang Nasional (BPN). Program ini pertama kali dijalankan pada masa Kabinet Ali Sastroamidjojo II. Program Pembangunan Rencana Lima Tahun berbeda dengan RUP yang lebih umum sifatnya. Program Rencana Lima Tahun lebih bersifat teknis dan terinci serta mencakup prioritas-prioritas proyek yang paling rendah. Tujuan dari Rencana Lima Tahun adalah mendorong munculnya industri besar, munculnya perusahaan-perusahaan yang melayani kepentingan umum dan jasa pada sektor publik yang hasilnya diharapkan mampu mendorong penanaman modal dalam sektor swasta.

Usaha pembangunan ekonomi nasional lainnya dijalankan dengan kebijakan nasionalisasi perusahaan-perusahaan asing. Nasionalisasi ini berupa tindakan pencabutan hak milik Belanda atau asing yang kemudian diambil alih atau ditetapkan statusnya sebagai milik pemerintah Republik Indonesia. Pengalihan hak milik modal asing sudah dilakukan sejak pengakuan kedaulatan pada tahun 1949. Hal ini terkait dengan hasil KMB yang belum terselesaikan, yaitu kasus Irian Barat yang janjinya satu tahun setelah berakhirnya KMB akan dibicarakan kembali, namun tidak dilaksanakan sehingga pemerintah Indonesia pada masa itu mengambil kebijakan untuk melakukan nasionalisasi perusahaan Belanda. Sejak tahun 1957 nasionalisasi yang dilakukan pemerintah terbagi dalam dua tahap; pertama, tahap pengambilalihan, penyitaan dan penguasaan atau sering disebut “di bawah pengawasan”. Kedua, pemerintah mulai mengambil kebijakan yang pasti, yakni perusahaan-perusahaan yang diambil alih itu kemudian dinasionalisasikan. Tahap ini dimulai pada Desember 1958 dengan dikeluarkannya UU tentang nasionalisasi perusahaan-perusahaan milik Belanda di Indonesia.

 

   2) Sistem Ekonomi Liberal

Sesudah pengakuan kedaulatan, Pemerintah Indonesia menanggung beban ekonomi dan keuangan yang cukup berat dampak dari disepakatinya ketentuan-ketentuan KMB, yaitu meningkatnya nilai utang Indonesia, baik utang luar negeri maupun utang dalam negeri. Struktur perekonomian yang diwarisi dari penguasa kolonial masih berat sebelah, nilai ekspor Indonesia pada saat itu masih sangat tergantung pada beberapa jenis hasil perkebunan yang nilainya jauh di bawah produksi pada era sebelum Perang Dunia II.

Permasalahan yang dihadapi pemerintah Indonesia pada saat itu mencakup permasalahan jangka pendek dan permasalahan jangka panjang. Permasalahan jangka pendek yang dihadapi pemerintah Indonesia saat itu adalah tingginya jumlah mata uang yang beredar dan meningkatnya biaya hidup. Permasalahan jangka panjang yang dihadapi pemerintah adalah pertambahan jumlah penduduk dengan tingkat hidup yang rendah. Beban berat ini merupakan konsekuensi dari pengakuan kedaulatan. Pada era ini, Pemerintah mengalami defisit sebesar Rp 5,1 miliar. Defisit ini sebagian besar berhasil dikurangi dengan pinjaman pemerintah dan kebijakan ekspor impor barang, terutama ketika pecah perang Korea.

Namun sejak tahun 1951, penerimaan pemerintah mulai berkurang disebabkan menurunnya volume perdagangan internasional. Indonesia sebagai negara yang berkembang tidak memiliki komoditas ekspor lain kecuali dari hasil perkebunan. Kondisi ini membawa dampak perkembangan perekonomian Indonesia yang tidak mengarah pada stabilitas ekonomi, bahkan yang terjadi adalah sebaliknya. Di sisi lain pengeluaran pemerintah semakin meningkat akibat tidak stabilnya situasi politik sehingga angka defisit semakin meningkat. Disamping itu, pemerintah belum berhasil meningkatkan produksi dengan memanfaatkan sumber-sumber yang masih ada untuk meningkatkan pendapatan nasional. Kelemahan pemerintah lainnya adalah politik keuangannya tidak dirancang oleh pemerintah Indonesia sendiri, namun dirancang oleh pemeritah Belanda. Hal ini terjadi akibat dari politik kolonial Belanda yang tidak mewariskan ahli-ahli yang cukup sehingga usaha mengubah sistem ekonomi dari ekonomi kolonial ke ekonomi nasional tidak mampu menghasilkan perubahan yang drastis.

Kebijakan yang ditempuh pemerintah untuk menanggulangi permasalahan tersebut diantaranya adalah melaksanakan industrialisasi, yang dikenal dengan Rencana Soemitro. Sasaran yang ditekankan dari program ini adalah pembangunan industri dasar, seperti pendirian pabrik-pabrik semen, pemintalan, karung dan percetakan. Kebijakan ini diikuti dengan peningkatan produksi, pangan, perbaikan sarana dan prasarana, dan penanaman modal asing.

Pada masa pemerintahan Kabinet Burhanuddin Harahap, Indonesia mengirim delegasi ke Belanda dengan misi merundingkan masalah Finansial Ekonomi (Finek). Perundingan ini dilakukan pada tangal 7 Januari 1956. Rancangan persetujuan Finek yang diajukan Indonesia terhadap pemerintah Belanda adalah sebagai berikut:

    1. Pembatalan Persetujuan Finek hasil KMB
    2. Hubungan Finek Indonesia-Belanda didasarkan atas hubungan bilateral
    3. Hubungan finek didasarkan atas undang-undang Nasional, tidak boleh diikat oleh perjanjian lain.
    4. Namun usul Indonesia ini tidak diterima oleh Pemerintah Belanda, sehingga pemerintah Indonesia secara sepihak melaksanakan rancangan fineknya dengan membubarkan Uni Indonesia-Belanda pada tanggal 13 Febuari 1956 dengan tujuan melepaskan diri dari ikatan ekonomi dengan Belanda.

Upaya yang dilakukan lainnya adalah upaya pembentukan Biro Perancang Negara pada masa Kabinet Ali II dengan tugas merancang pembangunan jangka panjang. Biro ini dipimpin oleh Ir. Djuanda yang kemudian diangkat menjadi Menteri Perancang Nasional. Biro ini kemudian merancang Rencana Program Pembanguan Lima Tahun (RPLT) yang rancangannya kemudian disetujui oleh Parlemen. Namun karena berbagai faktor, baik faktor eksternal maupun internal, RPLT sangat berat untuk dijalankan. Perekonomian Indonesia semakin terpuruk ketika ketegangan politik yang timbul tidak dapat diselesaikan dengan diplomasi, akhirnya memunculkan pemberontakan yang dalam penumpasannya memerlukan biaya yang cukup tinggi. Kondisi ini mendorong meningkatnya prosentasi defisit anggaran pemerintah, dari angka 20% di tahun 1950 dan 100% di tahun 1960.

3. Akhir Masa Demokrasi Liberal di Indonesia.

Kekacauan politik yang timbul karena pertikaian partai politik di Parlemen menyebabkan sering jatuh bangunnya kabinet sehinggi menghambat pembangunan. Hal ini diperparah dengan Dewan Konstituante yang mengalami kebuntuan dalam menyusun konstitusi baru, sehingga Negara Indonesia tidak memiliki pijakan hukum yang mantap. Kegagalan konstituante disebabkan karena masing-masing partai hanya mengejar kepentingan partainya saja tanpa mengutamakan kepentingan negara dan Bangsa Indonesia secara keseluruhan.

Kegagalan konstituante disebabkan karena masing-masing partai hanya mengejar kepentingan partainya saja tanpa mengutamakan kepentingan negara dan Bangsa Indonesia secara keseluruhan. Masalah utama yang dihadapi konstituante adalah tentang penetapan dasar negara. Terjadi tarik-ulur di antara golongan-golongan dalam konstituante. Sekelompok partai menghendaki agar Pancasila menjadi dasar negara, namun sekelompok partai lainnya menghendaki agama Islam sebagai dasar negara.
Dalam situasi dan kondisi seperti itu, pada tanggal 5 Juli 1959, Presiden Soekarno mengeluarkan dekrit.  Setelah keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan tidak diberlakukannya lagi UUDS 1950, maka secara otomatis sistem pemerintahan Demokrasi Liberal tidak berlaku lagi di Indonesia dan mulainya sistem Presidensil dengan Demokrasi Terpimpin ala Soekarno.

Rangkuman

  1. Periode antara tahun 1950-1959 dalam sejarah Indonesia disebut sebagai sistem Demokrasi Palementer yang memperlihatkan semangat belajar berdemokrasi. Oleh karena itu, sistem pemerintahan yang dibangun mengalami kendala yang mengakibatkan jatuh bangun kabinet. Periode ini disebut oleh Wilopo, salah seorang Perdana Menteri di era tersebut (1952-1953) sebagai zaman pemerintahan partai-partai. Banyaknya partai-partai dianggap sebagai salah satu kendala yang mengakibatkan kabinet/ pemerintahan tidak berusia panjang dan silih berganti.
  2. Masa Demokrasi Liberal di Indonesia memiliki ciri banyaknya partai politik yang saling berebut pengaruh untuk memegang tampuk kekuasaan. Hal tersebut membawa dampak terganggunya stabilitas nasional di berbagai bidang kehidupan.
  3. Pada era Demokrasi Liberal yang berlangsung dari 1950-1959 ada tujuh kabinet yang memegang pemerintahan, sehingga hampir setiap tahun terjadi pergantian kabinet. Jatuh bangunnya kabinet ini membuat program-program kabinet tidak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. Kondisi inilah yang menyebabkan stabilitas nasional baik di bidang politik, ekonomi, sosial dan keamanan terganggu.
  4. Pada masa Demokrasi Liberal , Indonesia menjalankan pemilihan umum pertama yang diikuti oleh banyak partai politik. Pemilu 1955 merupakan tonggak demokrasi pertama di Indonesia. Pemilu ini dilaksanakan untuk memilih anggota Parlemen dan anggota Konstituante. Konstituante diberi tugas untuk membentuk UUD baru menggantikan UUD sementara. Sayangnya beban tugas yang diemban oleh Konstituante tidak dapat diselesaikan. Kondisi ini menambah kisruh situasi politik pada masa itu sehingga mendorong Presiden Soekarno untuk mengeluarkan Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959. Dekrit tersebut membawa Indonesia mengakhir masa demokrasi parlementer dan memasuki Demokrasi Terpimpin.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

 

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, 2015, Sejarah Indonesia  Kelas XII    SMA/MA/SMK/MAK, PN: Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Balitbang, Kemdikbud.

 

https://www.kompas.com/skola/read/2020/03/12/183000569/kondisi-awal-indonesia-merdeka  (diakses tanggal  8 September 2020)

 

https://www.kelaspintar.id/blog/tips-pintar/indonesia-pada-awal-kemerdekaan-5283/

          (diakses tanggal  8 September 2020)

 

https://thecrossandthecontroller.com/politik-indonesia-pada-masa-awal-kemerdekaan/

          (diakses tanggal  8 September 2020)

 

https://thecrossandthecontroller.com/politik-indonesia-pada-masa-awal-kemerdekaan/

           (diakses tanggal  8 September 2020)

 

https://zakiyan08.wordpress.com/2012/11/06/kondisi-ekonomi-indonesia-awal-kemerdekaan/  (diakses tanggal  8 September 2020)

License: public domain