1.Masa Pemerintahan B.J. Habibie
A. Dasar Hukum Habibie Menjadi Presiden.
Naiknya Habibie menggantikan Soeharto menjadi polemik dikalangan ahli hukum, ada yang mengatakan hal itu konstitusional dan inskonstitusional. Yang mengatakan konstitusional berpedoman Pasal 8 UUD 1945, "Bila Presiden mangkat, berhenti atau tidak dapat melakukan kewajibannya, ia diganti oleh Wakil Presiden sampai habis waktunya". Adapun yang mengatakan inskonstitusional berlandaskan ketentuan Pasal 9 UUD 1945, "Sebelum Presiden meangku jabatan maka Presiden harus mengucapkan sumpah dan janji di depan MPR atau DPR". Secara hukum materiel Habibie menjadi presiden sah dan konstitusional. Namun secara hukum formal (hukum acara) hal itu tidak konstitusional, sebab perbuatan hokum yang sangat penting yaitu pelimpahan wewenang dari Soeharto kepada Habibie harus melalui acara resmi konstitusional. Saat itu DPR tidak memungkinkan untuk bersidang, maka harus ada alas an yang kuat dan dinyatakan sendiri oleh DPR.
B. Langkah-langkah Pemerintahan Habibie.
1. Pembentukan Kabinet.
Membentuk Kabinet Reformasi Pembangunan pada tanggal 22 Mei 1998 yang meliputi perwakilan militer (TNI-PoIri), PPP, Golkar, dan PDI.
2. Upaya Perbaikan Ekonomi.
Dengan mewarisi kondisi ekonomi yang parah "Krisis Ekonomi" Presiden B.J. Habibie berusaha melakukan langkah-langkah perbaikan, antara lain:
a. Merekapitalisasi perbankan.
b. Merekonstruksi perekonomian nasional.
c. Melikuidasi beberapa bank bermasalah.
d. Menaikkan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika hingga dibawahRp. 10.000,00
e. Mengimplementasikan refbrmasi ekonomi yang disyaratkan IMF.
C. Reformasi di Bidang Politik.
Presiden mengupayakan politik Indonesia dalam kondisi yang transparan dan merencakan pemilu yang luber dan jurdil, sehingga dapat dibentuk lembaga tinggi negara yang betul-betui representatif. Tindakan nyata dengan membebaskan narapidana politik diantaranya yaitu: (1) DR. Sri Bintang Pamungkas dosen Universitas Indonesia (UI) dan mantan anggota DPR yang masuk penjara karena mengkritik Presiden Soeharto. (2) Mochtar Pakpahan pemimpin buruh yang dijatuhi hukuman karena dituduh memicu kerusuhan di Medan dalam tahun 1994.
D. Kebebasan Menyampaikan Pendapat.
Kebebasan ini pada masa sebelumnya dibatasi, sekarang masa Habibie dibuka selebar-lebarnya baik menyampaikan pendapat dalam bentuk rapat umum dan unjuk rasa. Dalam batas tertentu unjuk rasa merupakan manifestasi proses demokratisasi. Maka banyak kalangan mempertanyakan mengapa para pelaku unjuk rasa ditangkap dan diadili. Untuk menghadapi para pengunjuk rasa Pemerintah dan DPR berhasil menciptakan UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang " kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum ".
Diberlakukannya undang-undang tersebut bukan berarti keadaan menjadi tertib seperti yang diharapkan. Seringkali terjadi pelanggaran oleh pengunjuk rasa maupun aparat keamanan, akibatnya banyak korban dari pengunjuk rasa dan aparat keamanan. Hal ini disebabkan oleh: (1) Undang-undang ini belum begitu memasyarakat. (2) Pengunjuk rasa memancing permasalahan, dan membawa senjata tajam. (3) Aparat keamanan ada yang terpancing oleh tingkah laku pengunjuk rasa sehingga tidak dapat mengendalikan diri. (4) Ada pihak tertentu yang sengaja menciptakan suasana panas agar negara menjadi kacau.
Krisis ini merupakan momentum koreksi historis bukan sekedar lengsemya Soeharto dari kepresidenan tapi yang paling penting membangun kelompok sipil lebih berpotensi untuk membongkar praktek KKN, otonomi daerah, dan lain-lainnya. Dimana krisis multidimensi ini berkaitan dengan sistem pemerintahan Orde Baru yang sentralistik yaitu kurang memperhatikan tuntutan otonomi daerah sebab sebab segala kebijakan untuk daerah selalu ditentukan oleh pemerintah pusat.
E. Masalah Dwi Fungsi ABRI
Gugatan terhadap peran dwifungsi ABRI maka petinggi militer bergegas-gegas melakukan reorientasi dan reposisi peran sosial politiknya selama ini. Dengan melakukan reformasi diri melalui rumusan paradigma baru yaitu menarik diri dari berbagai kegiatan politik.
Pada era reformasi posisi ABRI dalam MPR jumlahnya sudah dikurangi dari 75 orang menjadi 38 orang. ABRI yang semula terdiri atas empat angkatan yang termasuk Polri, mulai tanggal 5 Mei 1999 Kepolisian RI memisahkan diri menjadi Kepolisian Negara RI. Istilah ABRI berubah menjadi TNI yaitu angkatan darat, laut, dan udara.
F. Reformasi di Bidang Hukum
Pada masa pemerintahan Orde Baru telah didengungkan pembaharuan bidang hukum namun dalam realisasinya produk hukum tetap tidak melepaskan karakter elitnya. Misalnya UU Ketenagakerjaan tetap saja adanya dominasi penguasa. DPR selama orde baru cenderung telah berubah fungsi, sehingga produk yang disahkannya memihak penguasa bukan memihak kepentingan masyarakat.
Prasyarat untuk melakukan rekonstruksi dan reformasi hukum memerlukan reformasi politik yang melahirkan keadaan demokratis dan DPR yang representatif mewakili kepentingan masyarakat. Oleh karena itu pemerintah dan DPR merupaka'n kunci untuk pembongkaran dan refbrmasi hukum. Target reformasi hukum menyangkut tiga hal, yaitu: substansi hukum, aparatur penegak hukum yang bersih dan berwibawa, dan institusi peradilan yang independen. Mengingat produk hukum Orde Baru sangat tidak kondusif untuk menjamin perlindungan hak asasi manusia, berkembangnya demokrasi dan menghambat kreatifitas masyarakat. Adanya praktek KKN sebagai imbas dari adanya aturan hukum yang tidak adil dan merugikan masyarakat.
G. Sidang Istimewa MPR
Salah satu jalan untuk membuka kesempatan menyampaikan aspirasi rakyat ditengah-tengah tuntutan reformasi total pemerintah melakasanakan Sidang Istimewa MPR pada tanggal 10-13 Nopember 1998, diharapkan benar-benar menyuarakan aspirasi masyarakat dengan perdebaaatan yang lebih segar, dan terbuka. Pada saat sidang berlangsung temyata diluar gedung DPR/MPR Senayan suasana kian memanas oleh demonstrasi mahasiswa dan massa sehingga anggota MPR yang bersidang mendapat tekanan untuk bekerja lebih keras, serius, cepat sesuai tuntutan reformasi.
Sidang Istimewa MPR menghasilkan 12 ketetapan, yaitu:
- Tap MPR No. X/MPR/1998 tentang: Pokok-pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara
- Tap MPR No. XI/MPR/1998 tentang: Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas KKN.
- Tap MPR No. XH/MPR/1998 tentang: Pembatasan Masa Jabatan Presiden dan Wakil Presiden Republik Indinesia.
- Tap MPR No. XV/MPR/1998 tentang: Penyelenggaraan Otonomi Daerah.
- Tap MPR No. XVI/MPR/1998 tentang: Politik Ekonomi dalam Rangka Demokrasi Ekonomi.
- Tap MPR No. XVII/MPR/1998 tentang: Hak Asasi Manusia.
- Tap MPR No. VII/MPR/1998 tentang: Perubahan dan Tambahan atas Tap MPR Nomor: I/MPR/1983 tentang Peraturan Tata Tertib MPR sebagaimana telah beberapa kali dirubah dan ditambah dengan ketetapan MPR yang terakhirNomor: I/MPR/1998.
- Tap MPR No. XIV/MPR/1998 tentang: Perubahan dan Penambahan atas Tap MPR No. III/MPR/1998 tentang Pemilihan Umum.
- Tap MPR No. III/V/MPR/1998 tentang: mencabut Tap MPR No. IV/MPR/1983 tentang referendum.
- Tap MPR No. IX/MPR/1998 tentang: mencabut Tap MPR No. II/MPR/1998 tentang GBHN.
- Tap MPR No. XII/MPR/1998 tentang: mencabut Tap MPR No. V/MPR/1998 tentang Pemberian Tugas dan Wewenang Khusus kepada Presiden/Mandataris MPR RI dalam Rangka Penyukseskan dan Pengamanan Pembangunan Nasional sebagai Pengamalan Pancasila.
- Tap MPR No. XVIII/MPR/1998 tentang: mencabut Tap MPR No. II/MPR/1978 tentang Pendoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetia Pancakarsa) dan penetapan tentang Penegasan Pancasila sebagai DasarNegara.
H. Pemilihan Umum 1999
Faktor politik yang penting untuk memulihkan krisis multidimensi di Indonesia yaitu dilaksanakan suatu pemilihan urnum supaya dapat keluar dari krisis diperlukan pemimpin yang dipercaya rakyat. Asas pemilihan urnum tahun 1999 adalah sebagai berikut: (1). Langsung Pemilih mempunyai hak secara langsung memberi suara sesuai kehendak nuraninya tanpa perantara. (2) Umum, bahwa semua warga negara tanpa kecuali yang memenuhi persyaratan minimal dalam usia 17 tahun berhak memilih dan usia 21 tahun berhak dipilih. (3) Bebas, tiap warga negara berhak menentukan pilihan tanpa tekanan atau paksaan dari siapapun/pihak manapun. (4) Rahasia, tiap pemilih dijamin pilihannya tidak diketahui oleh pihak manapun dengan cara apapun (5) Jujur, semua pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan pemilu (penyelenggara/pelaksana, pemerintah, pengawas, pemantau, pemilih, dan yang terlibat secara langsung) harus bersikap dan bertindak jujur yakni sesuai aturan yang berlaku. 6. Adil, bahwa pcmilili dan partai politik peserta pemilu mendapat perlakuan yang sama, bebas dari kecurangan pihak manapun. Sebagaimana yang diamanatkan dalam ketetapan MPR, Presiden B.J. Habibie menetapkan tanggal 7 Juni 1999 sebagai waktu pelaksanaan pemilihan umum. Maka dicabutlah lima paket undang-undang tentang politik yaitu UU tentang (1) Pemilu, (2) Susunan, kedudukan, tugas, dan wewenang DPR/MPR, (3) Parpol dan Golongan Karya, (4) Referendum, (5) Organisasi Masa. Sebagai gantinya DPR berhasil menetapkan tiga undang-undang politik baru yang diratifikasi pada tanggal 1 Pebruari 1999 oleh Presiden B.J. Habibie yaitu: (1) UU Partai Politik, (2) UU Pemilihan Umum, dan (3) UU Susunan serta Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD. Adanya undang-undang politik tersebut menggairahkan kehidupan politik di Indonesia, sehingga muncul partai-partai politik yangjumlahnya cukup banyak, tidak kurang dari 112 partai politik yang lahir dan mendaftar ke Departemen Kehakinam namun setelah diseleksi hanya 48 partai politik yang berhak mengikuti pemilu.
Pelaksana pemilu adalah Komisi Pemilihan Umum yang terdiri atas wakil pemerintah dan parpol peserta pemilu. Pemungutan suara dilaksanakan pada hari Kamis, 7 Juni 1999 berjalan lancar dan tidak ada kerusuhan seperti yang dikhawatirkan masyarakat. Dalam perhitungan akhir hasil pemilu ada dua puluh satu partai politik meraih suara untuk menduduki 462 kursi anggota DPR, yaitu:
- Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PD1-P) : 153 kursi.
- Partai Golongan Karya (Partai Golkar) : 120 kursi.
- Partai Persatuan Pembangunan (PPP) : 58 kursi.
- Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) : 51 kursi.
- Partai Amanat Nasional (PAN) : 34 kursi.
- Partai Bulan Bintang (PBB) : 13 kursi
- Partai Keadilan (PK) : 7 kursi
- Partai Nahdiarul Ummah (PNU) : 5 kursi
- Partai Demokrasi Kasih Bangsa (PDKB) : 5 kursi
- Partai Keadilan Persatuan (PKP) : 4 kursi
- Partai Demokrasi Indonesia : 2 kursi
- Partai Kebangkitan Ummat (PKU) : 1 kursi
- artai Syarikat Islam Indonesia (PSII) : 1 kursi
- Partai Politik Islam Indonesia Masyumi : 1 kursi
- Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI) : 1 kursi
- PNI-MasaMarhaen : 1 kursi
- PNI-FrontMarhaen : 1 kursi
- Partai Persatuan (PP) : 1 kursi
- Partai Daulat Rakyat (PDR) : 1 kursi
- Partai Bhineka Tunggal Ika (FBI) : 1 kursi
- Partai Katholik Demokrat (PKD) : 1 kursi
- TNI/POLRI : 46 kursi
I. Sidang Umum MPR Hasil Pemilu 1999
Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang diketuai oleh Jenderal (Pum) Rudini menetapkan jumlah anggota MPR berdasarkan hasil pemilu 1999 yang terdiri dari anggota DPR (462 orang wakil dari parpol dan 38 orang TNI/PoIri), 65 orang wakil-wakil Utusan Golongan, dan 135 orang Utusan Daerah. Maka MPR melaksanakan Sidang Umum MPR Tahun 1999tanggal 1-21 Oktober 1999. Sidang mengesahkan Prof. DR. H. Muhammad Amin Rais, MA (PAN) sebagai Ketua MPR, dan Ir. Akbar Tandjung (Partai Golkar) sebagai Ketua DPR. Dalam pencalonan presiden muncul tiga nama calon yang diajukan oleh fraksi-fraksi di MPR, yaitu KH Abdurrahman Wahid (PKB), Hj Megawati Soekamoputri (PDI-P), Prof.DR. Yusril Ihza Mahendra, SH, MSc (PBB), Namun sebelum pemilihan Yusril mengundurkan diri. Hasil pemilihan dilaksanakan secara voting KH. Abdurrahman Wahid mendapat 373 suara, Megawati mendapat 313 suara, dan 5 abstein. Dalam pemilihan wakil presiden dengan calon Hj Megawati Soekamoputri (PDI-P) dan DR. Hamzah Haz (PPP) dimenangkan oleh Megawati Soekamoputri.
Pada tanggal 25 Oktober 1999 Presiden KH Abdurrahman Wahid dan Wakil Presiden Megawati Soekamoputri menyusun Kabinet Persatuan Nasional, yang terdiri dari: 3 Menteri Koordinator (Menko Polkam, Menko Ekuin, dan Menko Kesra), 16 menteri yang memimpin departemen, 13 Menteri Negara.
2. Masa Pemerintahan KH Abdurrahman Wahid
Sumber : https://indonesiabaik.id/infografis/masa-pemerintahan-bacharuddin-jusuf-habibie-reformasi-ekonomi-untuk-atasi-krisis
K.H. Abdurrahman Wahid terpilih sebagai presiden pada tanggal 20 Oktober 1999. Pemilihannya berjalan dengan demokratis dan transparan. Beliau yang biasa disebut Gus Dur dicalonkan sebagai presiden oleh Poros Tengah, yaitu Fraksi Persatuan Pembangunan, Fraksi Kebangkitan Bangsa dan Fraksi Bulan Bintang.
Inti Pidato Pertama Gusdur
Pidato pertamanya setelah terpilih sebagai presiden memuat tugas-tugas yang akan dijalankannya, yaitu sebagai berikut:
1. Peningkatan pendapatan rakyat.
2. Menegakkan keadilan mendatangkan kemakmuran.
3. Mempertahankan keutuhan bangsa dan negara.
4. Pembentukan Dewan Ekonomi Nasional (DEN)
Pembentukan DEN dimaksudkan untuk memperbaiki ekonomi Indonesia yang belum pulih akibat krisis yang berkepanjangan. Ketua DEN adalah Prof. Emil Salim dengan wakilnya Subiyakto Cakrawerdaya, Sekretaris Dr. Sri Mulyani Indrawati. Anggota DEN adalah Anggito Abimanyu, Sri Ningsih, dan Bambang Subianto.
Ketika hubungan Presiden K.H. Abdurrahman Wahid dan Poros Tengah tidak harmonis, DPR mengeluarkan Memorandum I dan II untuk menjatuhkannya dari kursi kepresidenan.
Sebagai reaksi baliknya, presiden mengeluarkan maklumat pada tanggal 28 Mei 2001 dan menjawab Memorandum II dengan jawaban yang dibacakan oleh Menko Politik, Sosial dan Keamanan (Menko Polsoskam) Susilo Bambang Yudhoyono pada tanggal 29 Mei 2001, yang antara lain isinya membekukan lembaga MPR dan DPR.
Akhir Jabatan Presiden Gusdur
Akhir jabatan Presiden K.H. Abdurrahman Wahid terjadi ketika berlangsung Rapat Paripurna MPR pada tanggal 21 Juli 2001. Rapat tersebut dianggap sebagai Sidang istimewa MPR. Keputusan yang diambil sidang istimewa tersebut sebagai berikut:
- Presiden K.H. Abdurrahman Wahid diberhentikan secara resmi sebagai presiden berdasarkan Ketetapan MPR No. II Tahun 2001.
- MPR mengeluarkan Ketetapan MPR No. III tahun 2001 untuk menetapkan dan melantik Wakil Presiden Dyah Permata Megawati Setyawati Soekarnoputri sebagai presiden kelima Republik Indonesia
K.H. Abdurrahman Wahid meninggal pada umur 69 tahun hari Rabu jam 18.40 WIB tanggal 30 Desember 2009 di RSCM Jakarta, dimakamkan di Pondok Pesantren Tebu Ireng, Jombang, Jawa Timur.
3. Masa Pemerintahan Megawati
Sumber : https://indonesiabaik.id/infografis/reformasi-pasca-imf
Setelah Gus Dur lengser, Megawati Soekarnoputri pun dilantik untuk menggantikannya. Salah satu kebijakan ekonomi Megawati yang dinilai berani adalah mengakhiri program reformasi kerjasama dengan IMF pada Desember 2003 yang lalu dilanjutkan dengan privatisasi perusahaan negara dan divestasi bank guna menutup defisit anggaran negara.
"Semua opsi yang ditawarkan IMF sifatnya 'mencekik leher' bagi Indonesia. Sifatnya menggantung Indonesia supaya terus bergantung pada IMF," ujar Menteri Negara Perencanaan dan Pembangunan Nasional/Ketua Bappenas saat itu, Kwik Kian Gie.
Setelah mengakhiri kerjasama dengan IMF, Megawati menerbitkan Instruksi Presiden No. 5 Tahun 2003 tentang Paket Kebijakan Ekonomi Sesudah Berakhirnya Program IMF untuk menjaga stabilitas ekonomi makro.
Ada beberapa poin penting dalam kebijakan tersebut. Di sektor fiskal misalnya, ditandai dengan reformasi kebijakan perpajakan, efisiensi belanja negara dan privatisasi BUMN. Di sektor keuangan, dilakukan perancangan Jaring Pengaman Sektor Keuangan, divestasi bank-bank di BPPN, memperkuat struktur governance bank negara, dan restrukturisasi sektor pasar modal, asuransi dan dana pensiun. Lalu di sektor investasi, dilakukan peninjauan Daftar Negatif Investasi, menyederhanakan perizinan, restrukturisasi sektor telekomunikasi dan energi serta pemberantasan korupsi.
Dampaknya dinilai cukup baik. Kurs Rupiah yang semula Rp. 9.800 (2001) menjadi Rp. 9.100 (2004), tingkat inflasi menurun dari 13,1% menjadi 6,5% sedangkan pertumbuhan ekonomi naik 2%, begitu pun poin IHSG dari 459 (2001) menajdi 852 (2004).
https://indonesiabaik.id/infografis/reformasi-pasca-imf
4. Masa Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono
Sumber : https://indonesiabaik.id/infografis/masa-pemerintahan-sby-naik-turun-ekonomi-indonesia
KOMPAS.com - Masa pemerintahan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dimulai dari tahun 2004-2014. Di masa pemerintahannya, ada 2 wakil presiden yakni Jusuf Kalla dan Boediono. Kebijakan politik yang dibuat adalah Kabinet Indonesia Bersatu yang berada di dalam 2 periode, Kabinet Indonesia Bersatu I dan Kabinet Indonesia Bersatu II. Saldi Isra dalam 10 tahun bersama SBY: catatan dan refleksi dua periode kepemimpinan (2014) mengatakan bahwa selama menjabat sebagai presiden, Susilo Bambang Yudhoyono dianggap sebagai presiden yang secara spesifik mengemukakan agenda pemberantasan korupsi. Pada zaman SBY, KPK direvitalisasikan dan memiliki posisi politik yang sangat kuat. KPK telah membongkar berbagai kasus salah satunya kasus suap Kemenpora Wafid Muharram atau kasus korupsi Wisma Atlet yang dilakukan oleh Nazaruddin.
Dilansir dari Kompas.com, selama 10 tahun kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono, penegakan atau supremasi hukum diberikan porsi yang baik dan besar. Di dalam hubungan internasional, peran Indonesia dalam kancah internasional tidak dipandang sebelah mata. Indonesia pada masa itu aktif di berbagai forum internasional seperti APEC dan Global Climate Change. Kemajuan pemerintahan SBY tidak sampai disitu saja. Berbagai kemajuan dilakukan, di antaranya: Adanya Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Pendidikan wajib 12 tahun Pembangunan wilayah juga berjalan baik seiring dengan konektivitas
Sumber : https://indonesiabaik.id/infografis/masa-pemerintahan-sby-kembali-tersengat-krisis-ekonomi
Meskipun banyak pencapaian yang dibuat oleh Susilo Bambang Yudhoyono, namun banyak isu kontroversial yang ada di dalam masa pemerintahannya. Beberapa di antaranya adalah: Kasus Century Kriminalisasi KPK atau Komisi Pemberantasan Korupsi Kasus mafia pajak yang melibatkan Gayus Tambunan Kasus Sekretariat Gabungan Isu jaksa agung yang terkait pengangkatan Jaksa Agung Hendarman Supandji Konflik perbatasan Indonesia dan Malaysia (Sumber: Kompas.com/Fabian Januarius Kuwado, Estu Suryowati | Editor: Sandro Gatra, Erlangga Djumena, Ignatius Sawabi )